1.Teori Perbandingan Sosial
1.Deprivasi
Relatif
Deprivasi
relatif adalah keadaan psikologis dimana seseorang merasakan ketidakpuasan atas
kesenjangan/kekurangan subjektif yang dirasakannya pada saat keadaan diri dan
kelompoknya dibandingkan dengan orang atau kelompok lain. Keadaan deprivasi
bisa menimbulkan persepsi adanya suatu ketidakadilan. Sedangkan perasaan
mengalami ketidakadilan yang muncul karena deprivasi akan mendorong adanya
prasangka (Brown, 1995). Misalnya di suatu wilayah, sekelompok etnis A bermata
pencaharian sebagai petani padi sawah. Masing-masing keluarga etnik tersebut
mengerjakan sawah seluas 2 ha. Rata-rata hasil panenan yang didapatkan setiap
kali panen (1 kali setahun) adalah 8 ton padi. Mereka sangat puas dengan hasil
tersebut dan merasa beruntung. Kemudian datanglah sekelompok etnis B yang juga
mengerjakan sawah di wilayah itu dengan luas 2 ha per keluarga. Ternyata, hasil
panenan kelompok etnis B jauh lebih banyak (14 ton sekali panen). Sejak itu
muncullah ketidakpuasan etnis A terhadap hasil panenannya karena mengetahui
bahwa etnis B bisa panen lebih banyak. Ketidakpuasan yang dialami etnis A itu
merupakan deprivasi relatif.
Pada awal
kedatangan etnis B, mereka disambut baik oleh etnis A. Akan tetapi setelah
etnis B berhasil memanen padi di sawah barunya, mulailah timbul ketidaksukaan
etnis A terhadap etnis B. Etnis A menuduh etnis B berkolusi dengan petugas
pengairan sehingga mendapatkan pengairan yang lebih baik karenanya hasil
panenannya lebih baik. Etnis A mulai merasakan adanya perlakuan yang tidak adil
dari petugas pengairan terhadap mereka, meski sebenarnya tidak ada pembedaan
perlakuan dari petugas tesebut. Tidak hanya itu, dalam berbagai hal etnis A pun
jadi berprasangka terhadap etnis B, dan mulai tidak menerima kehadiran etnis B.
Contoh diatas
menggambarkan timbulnya prasangka akibat dari deprivasi relatif. Hal demikian
seringkali terjadi terutama di daerah-daerah dimana terdapat penduduk asli dan
penduduk pendatang yang cukup besar. Contoh paling bagus adalah daerah
transmigrasi dimana penduduk asli tinggal tidak jauh dari sana. Sepanjang
kondisi ekonomi penduduk asli masih lebih baik daripada transmigran, penerimaan
penduduk asli terhadap transmigran akan berjalan baik. Akan tetapi begitu
kondisi ekonomi pendatang menjadi lebih baik daripada penduduk asli maka mulai
timbullah deprivasi relatif dari penduduk asli, halmana mulai menimbulkan
prasangka dan berbagai gejolak lainnya.
2.Teori
Konflik-Realistis
Menurut teori
konflik-realistik (Realistic Conflict Theory), prasangka timbul karena
kompetisi yang terjadi antara berbagai kelompok sosial yang berbeda untuk
meraih kesempatan atau sumber daya yang terbatas (Baron & Byrne, 1991).
Prasangka bisa muncul dan berkembang sebagai efek samping perjuangan berbagai
kelompok memperebutkan pekerjaan, perumahan yang memadai, sekolah yang baik,
lahan pertanian, dan lainnya. Apabila kesempatan dan sumber daya melimpah,
umumnya prasangka antar kelompok rendah karena orang-orang tidak perlu bersaing
keras mendapatkannya. Sedangkan apabila kesempatan dan sumber daya yang
tersedia sangat terbatas jumlahnya, biasanya prasangka di daerah tersebut cukup
tinggi.Demikian juga prasangka antara warga asli dengan warga pendatang di
daerah-daerah yang dijadikan pemukiman transmigrasi umumnya karena adanya
perebutan sumberdaya ekonomi yang terbatas.
Persaingan
memperebutkan sumberdaya yang terbatas seringkali berujung pada timbulnya
konflik antara pihak-pihak yang berkompetisi. Konflik-konflik yang terjadi yang
sering berupa kerusuhan dan kekerasan antar kelompok seringkali dipicu oleh
prasangka. Sebaliknya, konflik antar kelompok yang membesar akan menyebarkan
prasangka dan diskriminasi (Simpson & Yinger, 1965). Jadi, prasangka
merupakan pemicu konflik sekaligus sebagai hasil dari konflik. Prasangka memicu
konflik karena prasangka menciptakan kondisi hubungan sosial yang penuh
ketegangan. Prasangka sebagai hasil konflik karena konsekuensi munculnya sikap
permusuhan terhadap kelompok lain.
3.Teori
Frustrasi-Agresi
Prasangka
bisa muncul sebagai hasil dari adanya frustrasi (frustration-agression
hypothesis), dimana pencapaian tujuan mungkin dihalangi pihak lain. Seseorang
yang dalam mencapai tujuan dihalangi pihak lain ini akan cenderung berprasangka
terhadap pihak-pihak yang dianggap menghalangi itu. Dalam hal ini prasangka
mungkin merupakan mekanisme mempertinggi harga diri atau untuk mengalahkan dan
mengalihkan ancaman terhadap harga diri (Simpson & Yinger, 1965). Jadi,
ketika seseorang merasa tidak akan mencapai sesuatu, ia tidak ingin tampak
sebagai orang gagal karena kegagalan membuat harga dirinya terancam. Maka ia
akan berprasangka pada orang-orang atau kelompok lain agar harga dirinya tidak
terancam.
Frustrasi
seringkali menimbulkan agresi meski tidak selalu berbentuk agresi terbuka
(Berkowitz, 1995). Namun kadangkala karena sumber frustrasi tidak mungkin
menjadi sasaran agresi maka agresinya dialihkan kepada pihak lain. Pengalihan
agresi ini biasa dikenal sebagai pengkambinghitaman yang merupakan bentuk dari
prasangka. Biasanya sasaran pengkambinghitaman adalah kelompok-kelompok yang
subordinat dan lemah, atau kelompok minoritas. Sebagai contoh pada tahun
1997/1998 di saat negara kita mengalami krisis ekonomi, etnis Cina dituding
sebagai biang keladinya. Pada saat itu prasangka terhadap etnis Cina meningkat
dan sebaliknya etnis Cina juga menjadi lebih berprasangka terhadap etnis
lainnya.
Struktur
sosial yang kaku merupakan salah satu penyebab frustrasi karena mobilitas
sosial vertikal yang terhambat. Dalam banyak negara yang menerapkan sistem
pemerintahan otoriter dan tertutup dimana mobilitas sosial masyarakatnya sangat
terbatas, hal mana aspirasi untuk maju dan berkembang warganya sangat sulit
diwujudkan, prasangka yang ada diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat
cukup tinggi. Berdasarkan teori frustrasi-agresi, prasangka yang muncul
merupakan akibat dari timbulnya frustrasi atas keadaan sosial yang tidak
menfasilitasi keinginan individu ataupun kelompok untuk maju dan berkembang.
4.Teori
Belajar Sosial
Menurut teori
ini prasangka dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui proses
sosialisasi. Apabila suatu keluarga memiliki prasangka yang tinggi terhadap
kelompok lain, maka itulah yang cenderung ditanamkan pada anak-anak dalam
keluarga itu melalui idiom-idiom bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi.
Apalagi, stereotip dan juga prasangka dapat diwariskan dari generasi ke
generasi melalui bahasa tanpa pernah ada kontak dengan tujuan/objek stereotip
dan prasangka (Brisslin, 1993). Keadaan ini membuat kecenderungan kuat bahwa
orangtua yang berprasangka akan melahirkan anak-anak berprasangka.
Anak-anak
belajar melalui identifikasi atau imitasi, atau melalui pembiasaan. Apa yang
dilakukan orangtua, anggota keluarga lain dan semua yang dilihat anak-anak akan
ditiru. Misalnya bila orang tua sering mengata-ngatai tetangganya yang beretnis
batak dengan kata-kata “dasar batak”, maka sang anak juga akan meniru dan
mengembangkan perasaan tidak suka terhadap etnik batak secara keseluruhan.
Ada bukti
bahwa anak pada usia 3 tahun sudah sadar akan kategorisasi sosial utama yakni
gender dan etnik. Anak-anak sudah mengenal kategori-kategori dan bersikap serta
bertindak berdasarkan kategori-kategori itu (Brown, 1995). Pengkategorian itu
mendasarkan pada berbagai informasi yang telah diterima anak-anak dari
keluarganya. Informasi yang penuh dengan stereotip negatif dan berprasangka
akan membuat anak-anak bertindak sesuai dengan stereotip dan prasangka yang
dimiliki terhadap kelompok lain.Media massa juga merupakan alat dalam belajar
sosial yang penting. Banyak pengetahuan mengenai kelompok lain diperoleh
melalui berita-berita di media massa.
2.TEORI INFERENSI
Asumsi
Teori :
- Seseorang mengobservasi perilaku orang lain kemudian menarik kesimpulan tentang disposisi kepribadian orang lain tsb. DKL, teori ini membicarakan tentang bagaimana kita menarik kesimpulan tentang sifat kepribadian orang lain melalui observasi terhadap perilaku orang tersebut.
- Sifat kepribadian tersebut (disposisi) diasumsikan kehadirannya stabil pada diri orang itu dan berlaku dari satu situasi ke situasi lainnya.
Apa
dasar penetapan atribusional suatu perilaku :
- (Jones & Davies) ada beberapa faktor yang dapat dijadikan faktor untuk menarik kesimpulan tentang apakah suatu perbuatan disebabkan oleh sifat kepribadian atau disebabkan oleh faktor tekanan situasi.
- Bila diantara ketiga faktor tersebut di bawah ini ada (hadir) disaat seseorang melakukan suatu perbuatan, maka tindakan orang tersebut disebabkan oleh sifat kepribadian (disposisional) orang tersebut.
Non Common Effect : Situasi dimana penyebab dari
tindakan yang dilakukan seseorang adalah sesuatu yang tidak disukai oleh orang
pada umumnya. (misal : Seorang pria menikah dengan seorang wanita yang kaya,
pinter tetapi buruk rupa dan sudah tua. Tua dan buruk rupa inilah yang disebut
sebagai ‘non common effect’. Mengapa demikian ? Sebab umumnya pria tidak
menyukai menikah dengan wanita yang buruk rupa dan tua usianya. Sebaliknya pria
umum menyukai menikah dengan wanita yang elok parasnya, banyak hartanya, muda
usianya sehat tubuhnya dan sebagainya. Nah apa kesimpulan anda bila ada seorang
pria muda menikahi wanita tua, buruk rupa tetapi kaya harta. Apa kira-kira
kesimpulan anda tentang pria tersebut. Apa yang menyebabkan pria tadi menikahi
wanita tersebut ??
Freely Choosen Act : Banyak tindakan yang dilakukan
oleh orang dikarenakan oleh paksaan situasi. (misalnya : seorang wanita muda
harus menikah dengan seorang duda kaya yang berusia tua. Wanita itu menikah
karena dipaksa oleh orang tuanya. Dari peristiwa itu, sangatlah sulit bagi kita
untuk mengatakan bahwa wanita tersebut adalah seorang yang materialistik yang
mengejar harta si duda. Tetapi kalau dia sendiri yang ingin menikah dengan duda
tersebut sedangkan orang tuanya tidak menyarankan maka dengan mudah kita
menarik kesimpulan bahwa wanita itu materialistik. Sebab tindakan untuk menikah
dengan duda adalah tindakan atas pilihannya sendiri, bukan tekanan situasi.
Low Social Desirability (menyimpang dari kebiasaan) : Kita
akan dengan mudah menarik kesimpulan bahwa seseorang memiliki kepribadian
tertentu yang tidak wajar bila orang itu menyimpang dari kebiasaan umum. (misal
: Jika seseorang menghadiri upacara kematian biasanya orang harus menujukkan
roman muka yang sedih dan berempati pada ahlul duka. Kalau orang yang melayat
menujukkan hal yang demikian akan sulit bagi kita unyuk mengatribusikan bahwa
orang itu orang yang empatik, karena memang begitulah seharusnya. Tetapi bila
orang layat lalu menujukkan kegembiraan dg tertawa terbahak-bahak di saat orang
lain susah, maka mudah untuk kita simpulkan bahwa kepribadian orang tersebut
agak kurang beres.
Atribusi adalah sebuah teori yang membahas tentang
upaya-upaya yang dilakukan untuk memahami penyebab-penyebab perilaku kita dan
orang lain. Definisi formalnya, atribusi berarti upaya untuk memahami penyebab
di balik perilaku orang lain, dan dalam beberapa kasus juga penyebab di balik
perilaku kita sendiri
Teori atribusi merupakan teori yang menjelaskan tentang
perilaku seseorang. Apakah perilaku itu disebabkan oleh faktor disposisional
(faktor dalam/internal), misalnya sifat, karakter, sikap dsb, ataukah
disebabkan oleh keadaan ekternal, misalnya tekanan situasi atau keadaan
tertentu yang memaksa seseorang melakukan perbuatan tertentu.
Setiap individu pada dasarnya adalah seorang ilmuwan semu
(pseudo scientist) yang berusaha untuk mencari sebab kenapa seseorang berbuat
dengan cara tertentu. Misalkan kita melihat seorang bapak paroh baya melakukan
pencurian. Sebagai manusia kita ingin mengetahui penyebab kenapa dia sampai
mencuri ??
Apakah orang tersebut mencuri karena sifat dirinya yang
memang suka mencuri ?ataukah karena ia dipaksa oleh situasi, krn dia harus
punya uang untuk membelikan obat untuk anaknya yang sakit keras.
3.TEORI Atribusi Eksternal
- (dalam kasus di atas) bila kita menyimpulkan bahwa seseorang tadi mencuri karena memang sifat kesukaannya mencuri (sudah tertangkap berkali-kali) maka dalam hal ini kita telah melakukan atribusi internal.
- Bila kita menyimpulkan bahwa orang tersebut mencuri karena tekanan situasi (butuh uang untuk beli obat dan tak ada pilihan lainselain mencuri) maka dalam hal ini kita telah melakukan atribusi ekternal
Contoh
Atibusi Eksternal
Seorang siswa, yang bernama topan, bertengkar dengan seorang guru matematikanya, begitu pula dengan siswa lainnya. Hal ini menunjukkan konsensus yang tinggi. Topan pernah juga bertengkar dengan guru matematika itu sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa konsistensi yang tinggi. Kemudian topan tidak bertengkar dengan guru lainnya , Topan hanya bertengkar dengan guru matematikanya saja. Maka kita akan menyimpulkan bahwa Topan marah kepada guru matematikanya itu karena ulah gurunya sendiri, bukan karena watak topan yang pemarah. Ini sebagai salah satu contoh atribusi eksternal yang merupakan proses pembentukan kesan berdasarkan kesimpulan yang kita tafsirkan atas kejadian yang terjadi.
Seorang siswa, yang bernama topan, bertengkar dengan seorang guru matematikanya, begitu pula dengan siswa lainnya. Hal ini menunjukkan konsensus yang tinggi. Topan pernah juga bertengkar dengan guru matematika itu sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa konsistensi yang tinggi. Kemudian topan tidak bertengkar dengan guru lainnya , Topan hanya bertengkar dengan guru matematikanya saja. Maka kita akan menyimpulkan bahwa Topan marah kepada guru matematikanya itu karena ulah gurunya sendiri, bukan karena watak topan yang pemarah. Ini sebagai salah satu contoh atribusi eksternal yang merupakan proses pembentukan kesan berdasarkan kesimpulan yang kita tafsirkan atas kejadian yang terjadi.
4.TEORI PENILAIAN SOSIAL
Teori ini dikemukakan oleh Sherif
dan Hovland (1961)mencoba menggabungkan sudut pandangan psikologi, sosiologi
dan antropologi.mereka mengatakan bahwa dalil yan mendasar dari teorinyaini
adalah oan yang membentuk situasi yang penting buat dirinya. Jadi ia tidak
ditentukan oleh factor intern (sikap, situasi dan motif) maupun ekstern (obyek,
orang-orang dan lingkungan fisik). Interaksi dan factor intern dan ekstern
inilah yang menjadi kerangka acuan dari setiap perilaku. Pasokan-[sokan inilah
yang dianalisis oleh Sherif dalam teorinya dan dicari sejah mana pengaruhnya
terhadap penilaian social dilakukan oleh individu.
Jadi teori penilaian social ini khususnya mempelajari proses psikologis yang mendasari pernyataan sikap dan perubahan sikap melalui komunikasi. Anggapan dasarnya adalah bahwa dalam menilai manusia membuat deskripsi dan kategorisasi khusus. Dalam kategorisasi manusia melakukan perbandingan-perbandingan diantara berbagai alternatifyang disusun oleh individu untuk menilai stimulus-stimulus yang dating dari luar.
Oleh karena itu kita harus memahami penilaian social dari segi:
Jadi teori penilaian social ini khususnya mempelajari proses psikologis yang mendasari pernyataan sikap dan perubahan sikap melalui komunikasi. Anggapan dasarnya adalah bahwa dalam menilai manusia membuat deskripsi dan kategorisasi khusus. Dalam kategorisasi manusia melakukan perbandingan-perbandingan diantara berbagai alternatifyang disusun oleh individu untuk menilai stimulus-stimulus yang dating dari luar.
Oleh karena itu kita harus memahami penilaian social dari segi:
A. Skala Penilaian
Dalam hal ini bagaimana terjadinya penilaian pada diri individu, Sherf mengemukakan bahwa dalam percobaannya dia memerikkan sejumlah benda dan setiap benda itu menyatakan mana yang lebih berat dan mana yang lebih ringan. Disitlah jelas sifat yang akan dinilai dan makin jelas patokan-patokan yang akan disusun agar penilaiana makin mantap. Misalnya orang diberikan barang/benda yang dapat ditimabang yang beratnya bervariasi antara 5-100gram. Dan orang percobaan tersebut disuruh menetapkan 50gram.sebagai patokannya, maka menggolongkan benda yang brat dan yang ringan ini.stabil. sebaliknya kalau sifat yang ditimbang itu meragukan dantidaka ada patokan jelas, maka penilaian akan labil.
B. Efek asimilsi dan kontras
Sdalam kehidupan sehari-hari, kadang orang-orang haruse menggunakan patokan-patokan diluar batas-batas yang diberikan oleh stimulus yang ada. Efek dari patokan ini bergantung dari jauh dekatnya patokan dari stimulus. Jadi penilaian yang mendekati patokan disebut asimilasi. Yaitu patokan yang dimasukkan kedalam rangkaian stimulus dalam batas rangkaian stimulus diperbesar. Sehingga mencakupi paotkan. Dan penilaian yang menyalahi patokan disebut kontras.
C. Garis lintang penerimaan, penolakan dan ketidakterlibatan
Perbedaan akan variasi antara individu akan mendorong timbulnyakonsep-konsep tentang garis-garis lintang. Garis lintang penerimaan adalah rangakaian posisi sikap yang dapat diberikan , diterima dan ditolerir oleh indivudu. Garis lintang penolakan adalah rangkaian posisi sikap yang dapat tidak diberikan , tidak dapat diterima dan tidak bias ditolerir oleh indivudu. Garis lintang ketidak terlibatan adalah posisi-posisi yang termasuk dalam lintang yang pertama. Jari garis-garis lintang ini akan menentukan sikap indiviru terhadap pernyataan dalam situasi tertentu.
D. Pola penerimaan dan penolakan
Jika seorang individu melibatkan sendiri dalam situasi yang dinilainya sendirimaka ia akan menjadi patokan. maka makin tinggi ia terliat makin tinggi pula dan sedikait hal-hal yang ditermanya. Sebalikanya ambang penolakan semakin rendah sehingga makin banyak hal-hal yang tidak bias diterimanya.
E. Penilaian social dan penilaian sikap
Komunikasi menurut Sherif dan holand bisamendekatkan sikap individu dengansikap orang lain.tetapi bias juga menjahui orang lain. Hal ini tergantung dari posisi awal tersebut terhadap individu lain. Jika posisi awal mereka saling berdekatan, komunikasi akan semakin memperjelas persamaan-persamaan diantara mereka dan sehingga terjadilah pendekatan. Tetapi sebaliknya, jika posisi awal saling berjauhan, maka komuniksi akan mempertegas perbedaan dan posisi mereka akan saling menjahui.
TUGAS II
PSIKOLOGI SOSIAL
‘’TEORI-TEORI INTERAKSI SOSIAL’’
OLEH
FADHILA RAHMAN
NIM 1100541
BIMBINGAN
DAN KONSELING
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar