Minggu, 11 Maret 2012

teori perbandingan sosial


1.Teori Perbandingan Sosial
1.Deprivasi Relatif
Deprivasi relatif adalah keadaan psikologis dimana seseorang merasakan ketidakpuasan atas kesenjangan/kekurangan subjektif yang dirasakannya pada saat keadaan diri dan kelompoknya dibandingkan dengan orang atau kelompok lain. Keadaan deprivasi bisa menimbulkan persepsi adanya suatu ketidakadilan. Sedangkan perasaan mengalami ketidakadilan yang muncul karena deprivasi akan mendorong adanya prasangka (Brown, 1995). Misalnya di suatu wilayah, sekelompok etnis A bermata pencaharian sebagai petani padi sawah. Masing-masing keluarga etnik tersebut mengerjakan sawah seluas 2 ha. Rata-rata hasil panenan yang didapatkan setiap kali panen (1 kali setahun) adalah 8 ton padi. Mereka sangat puas dengan hasil tersebut dan merasa beruntung. Kemudian datanglah sekelompok etnis B yang juga mengerjakan sawah di wilayah itu dengan luas 2 ha per keluarga. Ternyata, hasil panenan kelompok etnis B jauh lebih banyak (14 ton sekali panen). Sejak itu muncullah ketidakpuasan etnis A terhadap hasil panenannya karena mengetahui bahwa etnis B bisa panen lebih banyak. Ketidakpuasan yang dialami etnis A itu merupakan deprivasi relatif.
Pada awal kedatangan etnis B, mereka disambut baik oleh etnis A. Akan tetapi setelah etnis B berhasil memanen padi di sawah barunya, mulailah timbul ketidaksukaan etnis A terhadap etnis B. Etnis A menuduh etnis B berkolusi dengan petugas pengairan sehingga mendapatkan pengairan yang lebih baik karenanya hasil panenannya lebih baik. Etnis A mulai merasakan adanya perlakuan yang tidak adil dari petugas pengairan terhadap mereka, meski sebenarnya tidak ada pembedaan perlakuan dari petugas tesebut. Tidak hanya itu, dalam berbagai hal etnis A pun jadi berprasangka terhadap etnis B, dan mulai tidak menerima kehadiran etnis B.
Contoh diatas menggambarkan timbulnya prasangka akibat dari deprivasi relatif. Hal demikian seringkali terjadi terutama di daerah-daerah dimana terdapat penduduk asli dan penduduk pendatang yang cukup besar. Contoh paling bagus adalah daerah transmigrasi dimana penduduk asli tinggal tidak jauh dari sana. Sepanjang kondisi ekonomi penduduk asli masih lebih baik daripada transmigran, penerimaan penduduk asli terhadap transmigran akan berjalan baik. Akan tetapi begitu kondisi ekonomi pendatang menjadi lebih baik daripada penduduk asli maka mulai timbullah deprivasi relatif dari penduduk asli, halmana mulai menimbulkan prasangka dan berbagai gejolak lainnya.
2.Teori Konflik-Realistis
Menurut teori konflik-realistik (Realistic Conflict Theory), prasangka timbul karena kompetisi yang terjadi antara berbagai kelompok sosial yang berbeda untuk meraih kesempatan atau sumber daya yang terbatas (Baron & Byrne, 1991). Prasangka bisa muncul dan berkembang sebagai efek samping perjuangan berbagai kelompok memperebutkan pekerjaan, perumahan yang memadai, sekolah yang baik, lahan pertanian, dan lainnya. Apabila kesempatan dan sumber daya melimpah, umumnya prasangka antar kelompok rendah karena orang-orang tidak perlu bersaing keras mendapatkannya. Sedangkan apabila kesempatan dan sumber daya yang tersedia sangat terbatas jumlahnya, biasanya prasangka di daerah tersebut cukup tinggi.Demikian juga prasangka antara warga asli dengan warga pendatang di daerah-daerah yang dijadikan pemukiman transmigrasi umumnya karena adanya perebutan sumberdaya ekonomi yang terbatas.
Persaingan memperebutkan sumberdaya yang terbatas seringkali berujung pada timbulnya konflik antara pihak-pihak yang berkompetisi. Konflik-konflik yang terjadi yang sering berupa kerusuhan dan kekerasan antar kelompok seringkali dipicu oleh prasangka. Sebaliknya, konflik antar kelompok yang membesar akan menyebarkan prasangka dan diskriminasi (Simpson & Yinger, 1965). Jadi, prasangka merupakan pemicu konflik sekaligus sebagai hasil dari konflik. Prasangka memicu konflik karena prasangka menciptakan kondisi hubungan sosial yang penuh ketegangan. Prasangka sebagai hasil konflik karena konsekuensi munculnya sikap permusuhan terhadap kelompok lain.
3.Teori Frustrasi-Agresi
Prasangka bisa muncul sebagai hasil dari adanya frustrasi (frustration-agression hypothesis), dimana pencapaian tujuan mungkin dihalangi pihak lain. Seseorang yang dalam mencapai tujuan dihalangi pihak lain ini akan cenderung berprasangka terhadap pihak-pihak yang dianggap menghalangi itu. Dalam hal ini prasangka mungkin merupakan mekanisme mempertinggi harga diri atau untuk mengalahkan dan mengalihkan ancaman terhadap harga diri (Simpson & Yinger, 1965). Jadi, ketika seseorang merasa tidak akan mencapai sesuatu, ia tidak ingin tampak sebagai orang gagal karena kegagalan membuat harga dirinya terancam. Maka ia akan berprasangka pada orang-orang atau kelompok lain agar harga dirinya tidak terancam.
Frustrasi seringkali menimbulkan agresi meski tidak selalu berbentuk agresi terbuka (Berkowitz, 1995). Namun kadangkala karena sumber frustrasi tidak mungkin menjadi sasaran agresi maka agresinya dialihkan kepada pihak lain. Pengalihan agresi ini biasa dikenal sebagai pengkambinghitaman yang merupakan bentuk dari prasangka. Biasanya sasaran pengkambinghitaman adalah kelompok-kelompok yang subordinat dan lemah, atau kelompok minoritas. Sebagai contoh pada tahun 1997/1998 di saat negara kita mengalami krisis ekonomi, etnis Cina dituding sebagai biang keladinya. Pada saat itu prasangka terhadap etnis Cina meningkat dan sebaliknya etnis Cina juga menjadi lebih berprasangka terhadap etnis lainnya.
Struktur sosial yang kaku merupakan salah satu penyebab frustrasi karena mobilitas sosial vertikal yang terhambat. Dalam banyak negara yang menerapkan sistem pemerintahan otoriter dan tertutup dimana mobilitas sosial masyarakatnya sangat terbatas, hal mana aspirasi untuk maju dan berkembang warganya sangat sulit diwujudkan, prasangka yang ada diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat cukup tinggi. Berdasarkan teori frustrasi-agresi, prasangka yang muncul merupakan akibat dari timbulnya frustrasi atas keadaan sosial yang tidak menfasilitasi keinginan individu ataupun kelompok untuk maju dan berkembang.
4.Teori Belajar Sosial
Menurut teori ini prasangka dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui proses sosialisasi. Apabila suatu keluarga memiliki prasangka yang tinggi terhadap kelompok lain, maka itulah yang cenderung ditanamkan pada anak-anak dalam keluarga itu melalui idiom-idiom bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Apalagi, stereotip dan juga prasangka dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui bahasa tanpa pernah ada kontak dengan tujuan/objek stereotip dan prasangka (Brisslin, 1993). Keadaan ini membuat kecenderungan kuat bahwa orangtua yang berprasangka akan melahirkan anak-anak berprasangka.
Anak-anak belajar melalui identifikasi atau imitasi, atau melalui pembiasaan. Apa yang dilakukan orangtua, anggota keluarga lain dan semua yang dilihat anak-anak akan ditiru. Misalnya bila orang tua sering mengata-ngatai tetangganya yang beretnis batak dengan kata-kata “dasar batak”, maka sang anak juga akan meniru dan mengembangkan perasaan tidak suka terhadap etnik batak secara keseluruhan.
Ada bukti bahwa anak pada usia 3 tahun sudah sadar akan kategorisasi sosial utama yakni gender dan etnik. Anak-anak sudah mengenal kategori-kategori dan bersikap serta bertindak berdasarkan kategori-kategori itu (Brown, 1995). Pengkategorian itu mendasarkan pada berbagai informasi yang telah diterima anak-anak dari keluarganya. Informasi yang penuh dengan stereotip negatif dan berprasangka akan membuat anak-anak bertindak sesuai dengan stereotip dan prasangka yang dimiliki terhadap kelompok lain.Media massa juga merupakan alat dalam belajar sosial yang penting. Banyak pengetahuan mengenai kelompok lain diperoleh melalui berita-berita di media massa.



2.TEORI INFERENSI
Asumsi Teori :
  • Seseorang mengobservasi perilaku orang lain kemudian menarik kesimpulan tentang disposisi kepribadian orang lain tsb. DKL, teori ini membicarakan tentang bagaimana kita menarik kesimpulan tentang sifat kepribadian orang lain melalui observasi terhadap perilaku orang tersebut.
  • Sifat kepribadian tersebut (disposisi) diasumsikan kehadirannya stabil pada diri orang itu dan berlaku dari satu situasi ke situasi lainnya.
Apa dasar penetapan atribusional suatu perilaku :
  • (Jones & Davies) ada beberapa faktor yang dapat dijadikan faktor untuk menarik kesimpulan tentang apakah suatu perbuatan disebabkan oleh sifat kepribadian atau disebabkan oleh faktor tekanan situasi.
  • Bila diantara ketiga faktor tersebut di bawah ini ada (hadir) disaat seseorang melakukan suatu perbuatan, maka tindakan orang tersebut disebabkan oleh sifat kepribadian (disposisional) orang tersebut.
Non Common Effect : Situasi dimana penyebab dari tindakan yang dilakukan seseorang adalah sesuatu yang tidak disukai oleh orang pada umumnya. (misal : Seorang pria menikah dengan seorang wanita yang kaya, pinter tetapi buruk rupa dan sudah tua. Tua dan buruk rupa inilah yang disebut sebagai ‘non common effect’. Mengapa demikian ? Sebab umumnya pria tidak menyukai menikah dengan wanita yang buruk rupa dan tua usianya. Sebaliknya pria umum menyukai menikah dengan wanita yang elok parasnya, banyak hartanya, muda usianya sehat tubuhnya dan sebagainya. Nah apa kesimpulan anda bila ada seorang pria muda menikahi wanita tua, buruk rupa tetapi kaya harta. Apa kira-kira kesimpulan anda tentang pria tersebut. Apa yang menyebabkan pria tadi menikahi wanita tersebut ??
Freely Choosen Act : Banyak tindakan yang dilakukan oleh orang dikarenakan oleh paksaan situasi. (misalnya : seorang wanita muda harus menikah dengan seorang duda kaya yang berusia tua. Wanita itu menikah karena dipaksa oleh orang tuanya. Dari peristiwa itu, sangatlah sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa wanita tersebut adalah seorang yang materialistik yang mengejar harta si duda. Tetapi kalau dia sendiri yang ingin menikah dengan duda tersebut sedangkan orang tuanya tidak menyarankan maka dengan mudah kita menarik kesimpulan bahwa wanita itu materialistik. Sebab tindakan untuk menikah dengan duda adalah tindakan atas pilihannya sendiri, bukan tekanan situasi.
Low Social Desirability (menyimpang dari kebiasaan) : Kita akan dengan mudah menarik kesimpulan bahwa seseorang memiliki kepribadian tertentu yang tidak wajar bila orang itu menyimpang dari kebiasaan umum. (misal : Jika seseorang menghadiri upacara kematian biasanya orang harus menujukkan roman muka yang sedih dan berempati pada ahlul duka. Kalau orang yang melayat menujukkan hal yang demikian akan sulit bagi kita unyuk mengatribusikan bahwa orang itu orang yang empatik, karena memang begitulah seharusnya. Tetapi bila orang layat lalu menujukkan kegembiraan dg tertawa terbahak-bahak di saat orang lain susah, maka mudah untuk kita simpulkan bahwa kepribadian orang tersebut agak kurang beres.
Atribusi adalah sebuah teori yang membahas tentang upaya-upaya yang dilakukan untuk memahami penyebab-penyebab perilaku kita dan orang lain. Definisi formalnya, atribusi berarti upaya untuk memahami penyebab di balik perilaku orang lain, dan dalam beberapa kasus juga penyebab di balik perilaku kita sendiri
Teori atribusi merupakan teori yang menjelaskan tentang perilaku seseorang. Apakah perilaku itu disebabkan oleh faktor disposisional (faktor dalam/internal), misalnya sifat, karakter, sikap dsb, ataukah disebabkan oleh keadaan ekternal, misalnya tekanan situasi atau keadaan tertentu yang memaksa seseorang melakukan perbuatan tertentu.
Setiap individu pada dasarnya adalah seorang ilmuwan semu (pseudo scientist) yang berusaha untuk mencari sebab kenapa seseorang berbuat dengan cara tertentu. Misalkan kita melihat seorang bapak paroh baya melakukan pencurian. Sebagai manusia kita ingin mengetahui penyebab kenapa dia sampai mencuri ??
Apakah orang tersebut mencuri karena sifat dirinya yang memang suka mencuri ?ataukah karena ia dipaksa oleh situasi, krn dia harus punya uang untuk membelikan obat untuk anaknya yang sakit keras.
3.TEORI Atribusi Eksternal
  • (dalam kasus di atas) bila kita menyimpulkan bahwa seseorang tadi mencuri karena memang sifat kesukaannya mencuri (sudah tertangkap berkali-kali) maka dalam hal ini kita telah melakukan atribusi internal.
  • Bila kita menyimpulkan bahwa orang tersebut mencuri karena tekanan situasi (butuh uang untuk beli obat dan tak ada pilihan lainselain mencuri) maka dalam hal ini kita telah melakukan atribusi ekternal
Contoh Atibusi Eksternal
            Seorang siswa, yang bernama topan, bertengkar dengan seorang guru matematikanya, begitu pula dengan siswa lainnya. Hal ini menunjukkan konsensus yang tinggi. Topan pernah juga bertengkar dengan guru matematika itu sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa konsistensi yang tinggi. Kemudian topan tidak bertengkar dengan guru lainnya , Topan hanya bertengkar dengan guru matematikanya saja. Maka kita akan menyimpulkan bahwa Topan marah kepada guru matematikanya itu karena ulah gurunya sendiri, bukan karena watak topan yang pemarah. Ini sebagai salah satu contoh atribusi eksternal yang merupakan proses pembentukan kesan berdasarkan kesimpulan yang kita tafsirkan atas kejadian yang terjadi.

4.TEORI PENILAIAN SOSIAL

Teori ini dikemukakan oleh Sherif dan Hovland (1961)mencoba menggabungkan sudut pandangan psikologi, sosiologi dan antropologi.mereka mengatakan bahwa dalil yan mendasar dari teorinyaini adalah oan yang membentuk situasi yang penting buat dirinya. Jadi ia tidak ditentukan oleh factor intern (sikap, situasi dan motif) maupun ekstern (obyek, orang-orang dan lingkungan fisik). Interaksi dan factor intern dan ekstern inilah yang menjadi kerangka acuan dari setiap perilaku. Pasokan-[sokan inilah yang dianalisis oleh Sherif dalam teorinya dan dicari sejah mana pengaruhnya terhadap penilaian social dilakukan oleh individu.
Jadi teori penilaian social ini khususnya mempelajari proses psikologis yang mendasari pernyataan sikap dan perubahan sikap melalui komunikasi. Anggapan dasarnya adalah bahwa dalam menilai manusia membuat deskripsi dan kategorisasi khusus. Dalam kategorisasi manusia melakukan perbandingan-perbandingan diantara berbagai alternatifyang disusun oleh individu untuk menilai stimulus-stimulus yang dating dari luar.
Oleh karena itu kita harus memahami penilaian social dari segi:

            A. Skala Penilaian
            Dalam hal ini bagaimana terjadinya penilaian pada diri individu, Sherf mengemukakan bahwa dalam percobaannya dia memerikkan sejumlah benda dan setiap benda itu menyatakan mana yang lebih berat dan mana yang lebih ringan. Disitlah jelas sifat yang akan dinilai dan makin jelas patokan-patokan yang akan disusun agar penilaiana makin mantap. Misalnya orang diberikan barang/benda yang dapat ditimabang yang beratnya bervariasi antara 5-100gram. Dan orang percobaan tersebut disuruh menetapkan 50gram.sebagai patokannya, maka menggolongkan benda yang brat dan yang ringan ini.stabil. sebaliknya kalau sifat yang ditimbang itu meragukan dantidaka ada patokan jelas, maka penilaian akan labil.

            B. Efek asimilsi dan kontras
Sdalam kehidupan sehari-hari, kadang orang-orang haruse menggunakan patokan-patokan diluar batas-batas yang diberikan oleh stimulus yang ada. Efek dari patokan ini bergantung dari jauh dekatnya patokan dari stimulus. Jadi penilaian yang mendekati patokan disebut asimilasi. Yaitu patokan yang dimasukkan kedalam rangkaian stimulus dalam batas rangkaian stimulus diperbesar. Sehingga mencakupi paotkan. Dan penilaian yang menyalahi patokan disebut kontras.

            C. Garis lintang penerimaan, penolakan dan ketidakterlibatan
Perbedaan akan variasi antara individu akan mendorong timbulnyakonsep-konsep tentang garis-garis lintang. Garis lintang penerimaan adalah rangakaian posisi sikap yang dapat diberikan , diterima dan ditolerir oleh indivudu. Garis lintang penolakan adalah rangkaian posisi sikap yang dapat tidak diberikan , tidak dapat diterima dan tidak bias ditolerir oleh indivudu. Garis lintang ketidak terlibatan adalah posisi-posisi yang termasuk dalam lintang yang pertama. Jari garis-garis lintang ini akan menentukan sikap indiviru terhadap pernyataan dalam situasi tertentu.

            D. Pola penerimaan dan penolakan
            Jika seorang individu melibatkan sendiri dalam situasi yang dinilainya sendirimaka ia akan menjadi patokan. maka makin tinggi ia terliat makin tinggi pula dan sedikait hal-hal yang ditermanya. Sebalikanya ambang penolakan semakin rendah sehingga makin banyak hal-hal yang tidak bias diterimanya.

            E. Penilaian social dan penilaian sikap
            Komunikasi menurut Sherif dan holand bisamendekatkan sikap individu dengansikap orang lain.tetapi bias juga menjahui orang lain. Hal ini tergantung dari posisi awal tersebut terhadap individu lain. Jika posisi awal mereka saling berdekatan, komunikasi akan semakin memperjelas persamaan-persamaan diantara mereka dan sehingga terjadilah pendekatan. Tetapi sebaliknya, jika posisi awal saling berjauhan, maka komuniksi akan mempertegas perbedaan dan posisi mereka akan saling menjahui.





TUGAS II
PSIKOLOGI SOSIAL
‘’TEORI-TEORI INTERAKSI SOSIAL’’



OLEH
FADHILA RAHMAN
NIM 1100541





BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar